TITIKNOL.ID, PENJAM – Mesrawati (35) bersama suaminya memiliki cara berbeda dalam memasarkan hasil kebun. Bukan mendatangi pasar untuk berdagang, melainkan cukup menunggu di pondok sederhana di tepi kebun, tempat pembeli singgah untuk memetik langsung buah yang mereka tanam.
Sudah berjalan hampir empat tahun pasangan ini telaten mengelola lahan seluas kurang lebih satu hektare itu di Desa Labangka, Kecamatan Babulu.
Di lahan mereka, pohon-pohon tegak berdiri dengan cabang dan daun lebat dipenuhi buah ranum yang bergelantungan, siap dipetik oleh siapa saja yang menginginkan.
Mesrawati, seorang ibu rumah tangga yang bertahun-tahun menekuni pekerjaannya dalam menjaga, merawat, dan memelihara kebun jambu kristal dan jambu citra miliknya, kini tampak tersenyum sumringah tiap kali pembeli secara bergerumbul mendatanginya, meminta kepadanya satu dua kresek untuk memetik buah-buahan.
Mulanya hanya segelintir, namun seiring waktu kebun buah miliknya dikenal luas hingga luar daerah.
“Awalnya kami ragu pilih berkebun atau suami tetap bekerja di perusahaan. Sedangkan waktu itu Covid-19, ada potensi pengurangan karyawan besar-besaran,” ucap Mesrawati mengenang ke belakang.
Enam bulan dirinya dan sang suami mempelajari olah perkebunan secara otodidak dari kanal youtube, saat itu pula dirinya teguh membuka kebun jambu kristal, dimana saat itu sedang digandrungi oleh pekebun lainnya.
“Setelah matang rencana, akhirnya suami resign pada 2021. Pesangon itu yang kami pakai untuk pesan bibit buah. Jadi sebelum resign, kami sudah memesan sehingga pada saat resign kita bisa langsung tanam,” ujarnya kepada Titiknol.id.
Didampingi ayah mertuanya, pasangan itu melanjutkan menggarap lahan agar siap ditanami 200 pohon jambu kristal yang mereka pesan dari Jawa, senilai Rp3,5 juta menggunakan uang pesangon.
Sukses dengan jambu kristal, Mesrawati menambah tanaman lainnya, yakni jambu citra. Ia menyebut, masyarakat menggemari kedua buah ini.
“Kita tanam jambu kristal, terus orang-orang tanya, jambu citra ada juga tidak, sehingga kami akhirnya juga memilih untuk menanam buah ini,” jelasnya.
Ia menyatakan panen jambu bisa dilakukan tiga kali dalam setahun dengan masa tunggu 3-4 bulan sejak berbuah.
“Rumitnya dulu harus bungkus tiap buah. Itu dikerjakan oleh kami sendiri di lahan satu hektare. Kalau dulu 200 pohon, sekarang ada 500 pohon lebih, jadi pakai jasa pekerja,” katanya.
Mesrawati hanya mengandalkan ponselnya melalui aplikasi Facebook untuk pemasaran. Menurutnya, dari media tersebut kemudian orang-orang mulai berdatangan.
Pembeli, lanjut dia, datang dari berbagai daerah, termasuk Balikpapan, Paser, Grogot, Penajam, hingga Waru. Ia mencatat, dalam sehari pendapatan penjualan buah mencapai Rp500 ribu hingga Rp1 juta.
Beberapa orang juga kini telah menjadi pelanggan. Mereka adalah tengkulak yang membeli hingga 100 kilogram sekali angkut.
“Itu dari Batu Kajang, ada juga pedagang dari Waru, Petung, dan Sotek,” tambahnya.
Menariknya, penjualan buah olehnya memberi kebebasan bagi pembeli untuk memetik sendiri langsung dari pohon untuk sensasi berbeda. Jam operasional dibuka mulai pukul 07.00 – 18.00 WITA tanpa tarif masuk.
Pondoknya sendiri berada di depan sehingga pembeli akan langsung mengenali dan menghampiri. Di pondoknya, alat timbang, pisau, dan plastik sudah disediakan. Pisau–kalau-kalau pembeli ingin menyantap buah yang dipetiknya. Setiap pengunjung biasanya membeli sedikitnya satu kilogram buah dengan harga Rp25 ribu per kilogram.
Ke depan, ia berencana menambahkan gazebo di beberapa titik agar kebunnya lebih nyaman dikunjungi. Dukungan juga datang dari pemerintah desa, yang mendorong kebun itu berkembang menjadi agrowisata.
“Jambu di kampung-kampung itu kan nggak ada matinya. Perawatan tinggal pemangkasan biar dahan tidak terlalu tinggi, lanjut kita pupuk lagi supaya berbuah. Alhamdulillah untung,” sambungnya.
Ia berharap, kebun buah tersebut semakin dikenal luas, bukan hanya sebagai wisata menyenangkan, tetapi juga inspirasi bagi petani lain untuk memanfaatkan lahannya dengan tanaman produktif.
(Cindy Elysa)