TITIKNOL.ID, SAMARINDA — Mantan Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) periode 2018–2023, Isran Noor, diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, sejak Senin (22/9/2025) pagi.
Pria yang juga mantan Bupati Kutai Timur itu diperiksa terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah tahun 2023 dari Pemerintah Provinsi Kaltim kepada program Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) Kalimantan Timur.
Kepala Seksi Penyidikan (Kasidik) Kejati Kaltim, Indra Rivani, membenarkan pemeriksaan tersebut.
Ia menyebut, Isran Noor mulai menjalani pemeriksaan sejak pukul 10.00 Wita.
Hingga sore hari, sekitar pukul 16.36 Wita, pemeriksaan masih berlangsung.
Isran Noor juga tidak terlihat keluar saat waktu istirahat, salat, dan makan siang.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah sebelumnya Kejati Kaltim menetapkan dua tersangka dalam kasus DBON, yakni:
- Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kaltim, Agus Hari Kesuma;
- dan Ketua Pelaksana Sekretariat DBON Kaltim, Zairin Zain.
Keduanya telah ditahan di Rutan Kelas I Samarinda.
Pemeriksaan Wajar tapi Harus Objektif
Menanggapi perkembangan ini, Pengamat Politik Universitas Mulawarman Samarinda, Syaiful Bachtiar, menyatakan bahwa pemanggilan Isran Noor sebagai saksi merupakan hal yang wajar.
Menurutnya, hal ini tidak lepas dari posisi Isran yang tercatat dalam struktur organisasi DBON Kaltim.
“Kalau konteksnya seperti itu, pemeriksaan Pak Isran memang wajar. Beliau bagian dari struktur DBON. Terkait kemungkinan status hukum lebih lanjut, tentu akan tergantung pada sejauh mana keterlibatan atau peran beliau saat itu,” ujar Syaiful.
Syaiful menjelaskan bahwa posisi gubernur bisa tetap aman secara hukum jika kebijakan penganggaran DBON memiliki dasar yuridis yang kuat.
Sebaliknya, jika kebijakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas, maka tanggung jawab bisa diarahkan kepada pejabat tertinggi saat itu.
Pasti akan ada pertanyaan dari kejaksaan soal dasar hukum pembentukan DBON, bagaimana mekanisme anggarannya, dan sebagainya.
“Kalau semua itu tertib secara administratif dan legal, Pak Isran bisa saja tidak terseret. Tapi kalau sebaliknya, tentu berisiko,” katanya.
Syaiful juga menambahkan bahwa struktur DBON Kaltim melibatkan banyak elemen, tidak hanya Dispora dan pengurus harian, tetapi juga KONI Kaltim dan sejumlah lembaga lain yang menerima aliran dana.
Kalau dilihat dari struktur organisasinya, ada gubernur, wakil gubernur, Dispora, dan juga KONI Kaltim.
Bahkan berkembang informasi bahwa pada tahun 2023, KONI menerima Rp4,3 miliar, belum termasuk KORMI, BPOMI, dan lainnya.
“Semua bersumber dari anggaran yang dikordinasikan melalui DBON,” ungkapnya.
Karena itu, ia menilai penting bagi Kejati Kaltim untuk mengungkap secara transparan di mana letak kerugian negara atau pelanggaran hukumnya.
Kejaksaan harus bisa menjelaskan apakah kerugian itu akibat markup, data fiktif, atau prosedur yang salah.
“Penetapan tersangka harus didasari minimal dua alat bukti yang sah,” tegasnya.
Wanti-Wanti soal Nuansa Politis
Syaiful mengingatkan bahwa proses hukum ini harus dijauhkan dari kepentingan politik.
Menurutnya, DBON Kaltim merupakan satu-satunya yang terbentuk di Indonesia dan melibatkan banyak tokoh penting di Kalimantan Timur.
Sehingga berpotensi disalahartikan sebagai manuver politik.
“Saya harap ini bukan bagian dari pembersihan rezim lama. Penanganan kasus ini harus murni karena ada dugaan kerugian negara, bukan karena tekanan atau kepentingan politik,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi asal mula penyelidikan.
Jika proses ini berangkat dari temuan lembaga audit resmi seperti BPK, BPKP, atau Inspektorat, maka publik akan lebih percaya bahwa penanganan kasus benar-benar objektif.
“Kalau dasar penyelidikannya berasal dari audit resmi, maka publik akan lebih yakin bahwa ini benar-benar soal hukum, bukan politik,” pungkasnya. (*)