TITIKNOL.ID, BALIKPAPAN – Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Balikpapan menggelar diskusi dan nonton bareng film ‘Cut to Cut’ di Andaliman Coffee, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperingati World Press Freedom Day (WPFD) 2025 padaSabtu (10/5/2025).
Saat kegiatan berlangsung, diskusi tersebut tak hanya dihadiri jurnalis dari berbagai media di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Melainkan juga menarik minat kalangan aktivis lingkungan hingga praktisi hukum untuk datang ke diskusi World Press Freedom Day.
Dengan mengangkat tema “Kerentanan Kerja Jurnalistik dan Jurnalis sebagai Pekerja”, mereka terlihat membahas isu kebebasan berserikat, kebebasan pers, hingga perlindungan hukum pekerja.
Selain itu, peserta diskusi juga sempat nonton bareng film “Cut to Cut”.
Film ini menggambarkan kisah jurnalis sebagai buruh yang turut rentan saat menjalani kerja jurnalistik.
Dalam kesempatanya, Sucipto, jurnalis Kompas, menjabarkan, prasyarat kebebasan pers yang sehat adalah jurnalis yang independen.
Sehingga, jurnalis independen tentu mesti ditunjang dengan pemberian upah yang layak hingga kebebasan berserikat.
Ini dilakukan agar jurnalis bisa melindungi hak-haknya sebagai pekerja.
“Keberadaan serikat bisa mendorong perusahaan membuat kebijakan yang disertai suara karyawan,” ujar saat menjadi pemantik diskusi.
Intimidasi sampai Potong Gaji
Sementara itu, Ketua AJI Balikpapan Erik Alfian mengatakan, jurnalis selama ini profesi jurnalis terkesan superior.
Namun, banyak jurnalis belum menyadari bahwa jurnalis pun buruh. Di satu sisi, jurnalis kerap bersuara menyampaikan hak-hak pekerja, tetapi di saat bersamaan kerap tak sadar hak-haknya sebagai pekerja media.
“Kami menekankan jurnalis ini juga sama dengan profesi pekerja atau buruh yang lain,” bebernya.
“Artinya bisa mendapat pemotongan gaji, PHK sepihak, upah di bawah UMK, sampai intimidasi,” ungkapnya.
Di samping itu, Ketua PBH Peradi Balikpapan Ardiansyah mengatakan, jurnalis termasuk rentan mengalami penggerusan hak.
Menurutnya, jurnalis perlu terus berserikat dan tidak memerlukan izin dari pemilik perusahaan atau pemodal.
Dia menambahkan, jika ada indikasi perusahaan menghalangi berserikat maka terancam hukuman berat.
“Ini bisa terkena gugatan pidana, apapun bentuk ancaman seperti pemotongan gaji hingga PHK,” ujarnya.
Maka, kata dia, penting menghidupkan semangat berserikat. Sebab, perjuangan hak pekerja bisa dilakukan dengan membangun serikat.
“Jurnalis juga harus kerap diskusi dengan jaringan lain dalam menghadapi hubungan industrial,” tuturnya. (*)