Nasional

Pemerintah dan Korporasi Dilarang Mengadu Laporan Pencemaran Nama Baik 

31
×

Pemerintah dan Korporasi Dilarang Mengadu Laporan Pencemaran Nama Baik 

Sebarkan artikel ini
ATURAN BARU ITE - Foto ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Mahkamah Konstitusi melarang lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi mengadukan laporan dugaan pencemaran nama baik.

TITIKNOL.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi melarang lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi mengadukan laporan dugaan pencemaran nama baik. 

Putusan ini dinilai memberikan angin segar bagi kebebasan berpendapat dan kritik publik terhadap pemerintah.

Larangan bagi lembaga pemerintah, institusi, korporasi, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, serta profesi atau jabatan untuk mengadukan dugaan pencemaran nama baik ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Selasa (29/4/2025).

Kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 (UU ITE) harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa ’orang lain’ tidak dimaknai ’kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.’

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak berlaku bagi sejumlah pihak.

Hal tersebut berdasarkan Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang dimohonkan oleh Pemohon atas nama Daniel F. M. Tangkilisan.

Ketua MK Suhartoyo menyatakan Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” tutur Suhartoyo dalam persidangan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (29/4/2025).

Mahkamah menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .

Dan juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintahan, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan”.

Baca Juga:   Anggota DPRD Nanang Ali Sarankan Bangun Embun atau Bendungan untuk Irigasi Pertanian di PPU

Selain itu, Mahkamah juga menyatakan frasa “suatu hal” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”.

“Menyatakan frasa “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu” dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan”.

Dalam pertimbangan hukum putusan 105/PUU-XXII/2024, Mahkamah memandang penting adanya penegasan konstitusionalitas frasa “orang lain” dalam norma Pasal 27A UU ITE.

Hal itu agar memberikan kejelasan pemenuhan kewajiban negara dalam melindungi, memajukan, menegakkan serta memenuhi hak asasi manusia.

Hakim Arief Hidayat mengatakan, dalam negara demokrasi, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau tindakan orang lain.

Baca Juga:   Promo KFC Hari Ini 16 Februari 2025, Nikmati 2 Crispy Burger dan 2 Lovelychee Float Hanya dengan Harga Rp40 Ribuan

Ia melanjutkan pada dasarnya kritik dalam kaitan dengan Pasal 27A UU ITE merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

“In casu terhadap kebijakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat, merupakan hal yang sangat penting sebagai sarana penyeimbang atau salah satu sarana kontrol publik yang justru harus dijamin dalam negara hukum yang demokratis,” ucap Arief.

Ia menuturkan, terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. (*)