TitiknolTekno

Dari Banjir jadi Berkah, Kisah Kota Spons di China Disulap Hutan Impian

54
×

Dari Banjir jadi Berkah, Kisah Kota Spons di China Disulap Hutan Impian

Sebarkan artikel ini
Lihat Foto Nanchang Fish Tail Sponge Park (Turenscape via v2com newswire)

TITIKNOL.ID, TIONGKOK – Tahun 2013, hujan deras mengguyur Tiongkok. Lebih dari 200 kota dilanda banjir parah, menimbulkan kerugian besar dan mengguncang sistem perencanaan kota yang ada.

Tapi dari bencana itu, lahirlah solusi revolusioner: Kota Spons (Sponge City), sebuah pendekatan baru yang tidak melawan air, melainkan berdamai dengannya.

Adalah Kongjian Yu, arsitek lanskap dan perancang kota asal Tiongkok, yang mempelopori konsep ini.

Ia membalik logika perencanaan urban konvensional: bukan membuang air secepat mungkin lewat drainase, melainkan menyerap, menyimpan, dan memanfaatkannya.

Proyek percontohan di 16 kota pada 2015 sukses besar. Kini, pendekatan Kota Spons diterapkan secara luas.

Salah satu wujud terindahnya adalah taman-taman tepi sungai yang bukan hanya menawan, tapi juga mampu mengelola banjir secara alami.

Logika Banjir Bukan Musuh

Selama ini, infrastruktur kota didesain agar air cepat pergi, drainase, gorong-gorong, kanal. 

Tapi perubahan iklim membuat curah hujan semakin tak terduga. Sistem drainase modern pun tak lagi sanggup menampung lonjakan air.

Kota Spons hadir dengan filosofi sebaliknya: menyerap air sebanyak mungkin ke dalam tanah.

Caranya? Lewat permukaan hijau di atap dan dinding bangunan, taman hujan, alun-alun yang bisa tergenang secara terkontrol, hingga ruang publik multifungsi yang bisa berubah fungsi saat banjir melanda.

Hasilnya bukan hanya pengendalian banjir. Tanah juga terisi ulang, cadangan air meningkat, dan kota menjadi lebih resilien menghadapi ekstremitas cuaca—baik kekeringan maupun banjir.

Salah satu contoh paling spektakuler dari keberhasilan konsep ini adalah Fish Tail Sponge Park di Nanchang, sebuah kota di dataran banjir Sungai Yangtze.

Area seluas 126 hektare yang dulunya bekas tempat pembuangan abu batu bara dan kolam ikan tercemar, kini berubah menjadi hutan terapung modern yang memukau.

Baca Juga:   Inilah Perbandingan Volume Sampah di 3 Event Nasional di Samarinda Kaltim

Menggunakan teknik kuno ala pertanian Aztec di rawa-rawa, tim Turenscape pimpinan Kongjian Yu melakukan metode cut-and-fill gali dan timbun dengan mendaur ulang abu batu bara, menciptakan pulau-pulau kecil yang bisa menampung lebih dari 1 juta meter kubik air hujan.

Pulau-pulau ini ditanami pohon-pohon yang adaptif terhadap banjir seperti Cypress (Taxodium) dan Dawn Redwood (Metasequoia), meniru ekosistem rawa asli Danau Poyang.

Keunikan taman ini terletak pada fleksibilitasnya: indah saat kering, fungsional saat tergenang.

Jalur jalan, jembatan, dan bangku taman terbuat dari material tahan air dan mudah dibersihkan setelah banjir. Batu-batu taman bahkan berubah fungsi jadi pijakan saat air naik.

Tidak ada rumput luas seperti taman bergaya Inggris. Sebaliknya, taman ini penuh dengan vegetasi padat, warna-warni, dan elemen modern sebuah simfoni antara arsitektur kontemporer dan kearifan lokal.

Tapi Juga Cerdas

Taman ini tak hanya menyerap air hujan, tapi juga memulihkan habitat burung, menyaring limpasan kota melalui sistem lahan basah berteras, dan memperkaya biodiversitas.

Kini, Fish Tail Sponge Park menjadi salah satu taman kota paling populer, terintegrasi dengan jaringan kereta bawah tanah, sekaligus simbol transformasi kawasan urban Nanchang yang dulunya tak terjamah.

Kisah Fish Tail Sponge Park adalah pelajaran berharga bagi kota-kota lain di dunia, terutama yang rentan terhadap banjir dan kekeringan.

Daripada terus membangun infrastruktur mahal dan kaku, pendekatan berdamai dengan air ini terbukti lebih efektif, fleksibel, dan berkelanjutan.

Konsep Kota Spons menunjukkan bahwa ruang publik bisa dirancang bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk air dan alam. Hasilnya adalah kota yang tangguh, sehat, dan lebih layak huni.

Pertanyaannya sekarang: Mampukah kota-kota di Indonesia dengan segala tantangan urban dan iklimnya mengadopsi filosofi Kota Spons?

Baca Juga:   ‎Presiden Prabowo Targetkan IKN Rampung dalam 3 Tahun, Anggaran Jadi Sorotan

Mampukah kita mengubah lahan terbengkalai menjadi oase hijau yang fungsional dan estetik?

Jika ya, masa depan kota akan jauh lebih cerah dan lebih hijau. (*)