TITIKNOL.ID, SAMARINDA – Perjalanan sejarah Islam di Kalimantan Timur menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk “Peringatan 4,5 Abad Islam di Kutai-Kalimantan Timur 1575–2025: Refleksi Historis Dakwah Inklusif Tuan Tunggang Parangan”.
Acara ini digelar di Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda pada Senin 6 Oktober 2025 di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur.
Tahun 1575 menjadi tonggak penting dalam sejarah Kutai dan Kalimantan Timur. Tepat 450 tahun lalu, Kerajaan Kutai Kertanegara mengalami transformasi besar: dari kerajaan Hindu lokal, menjadi kerajaan Islam.
Proses Islamisasi ini menandai awal peradaban baru yang berlangsung secara damai dan penuh dialog.
Diskusi dipandu oleh Rusdianto dan menghadirkan beragam narasumber dari berbagai latar belakang, di antaranya anggota DPD RI dari Kalimantan Timur Aji Mirni Mawarni, sejarawan publik Muhammad Sarip, tokoh adat Aji Muhammad Mirza Wardana, serta mahasiswa Fakultas Syariah UINSI, Nur Jannah.
Menariknya, Nur Jannah yang mewakili generasi Z tak hanya hadir sebagai pembicara, namun juga menjadi pembawa acara pada sesi pembukaan.
Hal ini menurut Rusdianto, merupakan bagian dari upaya memberikan ruang kepada generasi muda untuk memahami dan menyuarakan pandangan mereka tentang sejarah lokal.
“Diberikan kesempatan kepada Gen Z untuk menjadi narasumber supaya kita mengetahui bagaimana pemahaman anak muda terhadap sejarah lokal Kaltim,” ujar Rusdianto.
Dalam forum tersebut, Jannah memberikan ulasan terhadap buku Histori Kutai karya Muhammad Sarip, khususnya terkait pembahasan proses Islamisasi di Kutai.
Ia mengapresiasi gaya penulisan buku yang elegan, namun memberi masukan agar bagian yang memuat perbedaan versi tentang sosok Tuan Tunggang Parangan disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah dipahami.
Muhammad Sarip menyambut baik kritik tersebut. “Saya memang meminta Jannah untuk memberikan kritik bebas terhadap buku saya. Puja-puji nyaris tidak ada manfaatnya, sedangkan kritik itu penting untuk perbaikan kualitas karya ke depannya,” ujarnya.
Sarip menjelaskan bahwa identitas asli Tuan Tunggang Parangan hingga kini masih menjadi perdebatan, karena tidak disebutkan secara eksplisit dalam manuskrip Arab-Melayu Salasilah Kutai. Setidaknya ada lima versi berbeda terkait nama aslinya.
Namun, menurutnya, perbedaan tersebut tidak mengurangi nilai penting proses Islamisasi di Kutai yang berjalan inklusif dan akomodatif.
“Islam masuk ke Kutai melalui pendekatan damai antara Raja ke-6 Kutai Kertanegara, yaitu Raja Mahkota, dengan seorang sufi pengembara bergelar Tuan Tunggang Parangan,” jelas Sarip.
Senator DPD RI Aji Mirni Mawarni, yang akrab disapa Mawar, menegaskan komitmennya untuk terus menyebarkan literasi sejarah Kutai, terutama kepada generasi muda.
“Saya bersama adik saya memfasilitasi penulisan buku Histori Kutai ini agar narasi sejarah dari para tetua kami, seperti almarhum Adji Boly dan Adji Deck, bisa dihimpun secara ilmiah,” tuturnya.
Sebelum diskusi di UINSI, Mawar juga telah mengadakan forum serupa di Universitas Mulawarman (Unmul), membahas 200 tahun perjanjian antara Kutai dan Hindia Belanda tahun 1825.
Pada sesi tanya jawab, Mawar menanggapi pernyataan audiens Aji Qamara Hakim yang menyayangkan rendahnya pengetahuan mahasiswa tentang tokoh-tokoh sejarah yang namanya menjadi nama kampus, seperti UINSI dan Unmul.
“Saya sepakat, bahkan di kalangan mahasiswa, literasi sejarah Kutai masih sangat minim. Ini tantangan kita bersama,” tegas Mawar.
Sementara itu, tokoh adat Aji Muhammad Mirza Wardana menambahkan bahwa masuknya Islam tidak menghapus budaya lokal, seperti adat erau, yang justru tetap dilestarikan hingga kini.
Mengakhiri diskusi, Nur Jannah menyampaikan pesan penutup yang menyentuh.
“Sejarah Islam bukan hanya tentang siapa yang datang pertama kali, tapi tentang bagaimana Allah Swt. menghadirkan hidayah dengan cara-cara yang bijak melalui perdagangan, persahabatan, atau cerita lisan,” ujarnya. (*)












