TITIKNOL.ID, JAKARTA – Hari ini, Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan membacakan putusan final mengenai sengketa Pilkada 2024 di tiga kabupaten di Kalimantan Timur (Kaltim), yakni:
- Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu);
- Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar);
- dan Kabupaten Berau.
Keputusan final yang dijadwalkan pada Senin, 24 Februari 2025, akan menjadi penentu masa depan kepemimpinan di wilayah-wilayah tersebut.
Sidang pertama akan dimulai pada pukul 08.00 WIB dengan agenda membahas sengketa Pilkada Mahulu, yang terdaftar dengan nomor perkara 224/PHPU.BUP-XXIII/2025.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Owena Mayang Shari Belawan dan Stanislaus Liah (MANIS) sebagai pemenang dengan perolehan 9.930 suara.
Namun, pasangan penantang, Novita Bulan dan Artya Fathra Marthin, menuduh adanya praktik penggelembungan suara dan penghilangan suara di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS).
Mereka mengajukan gugatan ke MK, menuntut penghitungan suara ulang.
Ketegangan serupa juga terjadi di Kabupaten Berau, di mana pasangan Madri Pani dan Agus Wahyudi hanya terpaut 696 suara dari
pasangan petahana Sri Juniarsih Mas dan Gamalis.
Berdasarkan hasil rekapitulasi, Sri-Gamalis meraih 65.590 suara, unggul di 10 kecamatan, sementara Madri-Agus hanya menang di 3 kecamatan.
Kekalahan tipis ini memicu gugatan di MK.
Madri-Agus menuduh adanya pelanggaran administratif, termasuk mutasi pejabat sebelum penetapan calon kepala daerah serta dugaan penyalahgunaan hak pilih di beberapa TPS.
Persidangan untuk perkara ini dijadwalkan pada pukul 13.30 WIB dengan nomor perkara 81/PHPU.BUP-XXIII/2025.
Sengketa di Kukar menjadi salah satu yang paling panas.
Pasangan Dendi Suryadi dan Alif Turiadi menggugat dengan dalih adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Tuduhan mereka mencakup penyalahgunaan fasilitas negara oleh pasangan petahana, intimidasi terhadap pemilih, hingga
manipulasi data pemilih.
Di sisi lain, pasangan petahana Edi Damansyah dan Rendi Solihin, memilih untuk tetap tenang.
Mereka menyatakan apresiasi terhadap kelancaran proses Pilkada dan menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada MK.
Ketua KPU Kaltim, Fahmi Idris, menegaskan komitmen pihaknya untuk mengikuti semua proses sesuai arahan MK.
“Yang tergugat tinggal Berau, Kukar, dan Mahulu. Kami berharap semua pihak menghormati putusan MK,” ujarnya pada Minggu (23/2).
Saat ditanya mengenai pelantikan kepala daerah, Fahmi menegaskan bahwa pelaksanaan pelantikan akan menunggu putusan MK.
“Ya, mereka tidak bisa dilantik bersamaan. Tapi, semuanya kami serahkan pada keputusan MK,” tambahnya.
Fahmi juga menyampaikan apresiasi kepada media yang telah mengawal jalannya Pilkada.
“Saya berterima kasih kepada teman-teman media. Kami juga minta maaf jika ada kekurangan selama proses ini berlangsung. Atas nama pribadi dan KPU se-Kaltim, kami mohon maaf dan terima kasih sebesar-besarnya,” tutupnya.
Putusan MK bukan hanya akan menentukan siapa yang akan memimpin tiga kabupaten ini, tetapi juga akan menjadi penentu stabilitas politik di Kalimantan Timur.
Masyarakat di Berau, Kukar, dan Mahulu kini menunggu dengan harap-harap cemas, menginginkan proses hukum yang transparan, adil, dan berpihak pada demokrasi sejati.
Mengenal Istilah Hukum dalam Sidang MK
Dalam sidang MK terdapat beragam istilah hukum, termasuk gugur, tidak diterima, tidak berwenang, dan dicabut.
Kepala Biro Humas dan Protokol MK, Pan Muhamad Faiz, menjelaskan perbedaan istilah yang digunakan dalam putusan.
Amar putusan gugur misalnya, digunakan untuk menyatakan pemohon tidak hadir di persidangan karena alasan yang sah.
“Sehingga amar putusannya gugur,” ujar Faiz, saat ditemui di Kantor MK, Jakarta.
Faiz juga memberikan contoh untuk amar putusan tidak berwenang, yang terlihat dalam perkara pemilihan bupati Cirebon.
Dalam kasus ini, pemohon mempermasalahkan berita acara yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum, bukan substansi perselisihan pemilu.
Hal ini membuat MK memutuskan tidak memiliki kewenangan untuk mengadili permohonan sengketa tersebut.
Sementara itu, istilah amar putusan tidak diterima digunakan untuk perkara yang tidak memenuhi syarat formil.
“Nah, tadi kita lihat dan dengarkan sama-sama, itu sebagian besar tidak diterima, karena dianggap tidak memenuhi syarat Pasal 158 (UU Pemilu). Tapi, bukan berarti mahkamah sama sekali tidak mempertimbangkan dalil-dalil argumentasi permohonan,” ungkap Faiz.
Berikutnya, istilah amar putusan ditolak tidak digunakan dalam putusan dismissal, karena belum memasuki tahap pemeriksaan pokok perkara. (*)