TITIKNOL.ID, JAKARTA – Permohonan uji materi terhadap syarat minimal pendidikan calon anggota DPR RI akhirnya resmi dicabut oleh para pemohonnya.
Dua pemohon, Nanda Yuniza dan Muhammad Rafli Nur Rahman, menyatakan pencabutan dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan dari pihak mana pun.
“Demi menjaga kemurnian proses peradilan dan menghindari potensi persoalan formal yang dapat melemahkan substansi permohonan, kami memutuskan untuk mencabut permohonan secara sadar dan sukarela,” ujar Nanda dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar pada Senin (6/10/2025).
Nanda menjelaskan, keputusan tersebut diambil setelah dilakukan penelaahan mendalam terhadap norma undang-undang yang diuji.
Ia menyebut, permohonan perlu disempurnakan, terutama dalam hal penambahan pihak pemohon yang dinilai memiliki kedudukan hukum (legal standing) lebih kuat dan relevan dengan objek pengujian.
Adapun permohonan uji materi yang diajukan sebelumnya menyasar Pasal 240 Ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Pasal tersebut menyebutkan bahwa calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memiliki pendidikan minimal setingkat sekolah menengah atas atau sederajat.
Berikut kutipan bunyi pasal tersebut:
“Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat.”
Dalam sidang perdana pada 22 September 2025 lalu, salah satu pemohon, Muhammad Rafli, menilai bahwa standar pendidikan minimal SMA tidak sebanding dengan beban dan kewenangan konstitusional yang dimiliki anggota legislatif.
Menurutnya, rendahnya syarat pendidikan membuka potensi lemahnya kapasitas intelektual dan kemampuan analitis para legislator, sehingga dapat berdampak pada kualitas produk hukum yang dihasilkan.
“Tanpa standar pendidikan yang lebih tinggi, fungsi legislasi berisiko menghasilkan regulasi yang tumpang tindih, diskriminatif, atau tidak sesuai kebutuhan masyarakat,” kata Rafli saat itu.
Meski dicabut, para pemohon menyatakan akan menyusun ulang permohonan tersebut dan mengajukannya kembali ke MK dengan komposisi pemohon yang lebih representatif. (*)












