TITIKNOL.ID, TENGGARONG – Sengketa lahan antara kelompok tani dan sebuah perusahaan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur kembali mencuat.
Konflik yang telah berlangsung sejak 2023 itu kini menjadi perhatian serius Komisi I DPRD Kukar.
Persoalan ini berpusat di Kelurahan Handil Baru, di mana kelompok tani mengklaim lahan seluas 8 hingga 10 hektare sebagai area garapan mereka sejak 2016.
Namun di sisi lain, perusahaan mengklaim memiliki legalitas resmi atas lahan tersebut.
Anggota Komisi I DPRD Kukar, Wandi, menyampaikan bahwa konflik ini sudah berulang kali dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), namun belum menghasilkan solusi.
“Permasalahan lahan ini sebenarnya sudah lama. Sudah beberapa kali dibahas di DPRD, tapi belum ada penyelesaian,” ujar Wandi, Senin (13/10/2025).
Menurutnya, konflik berakar dari perbedaan dasar hukum klaim lahan.
Perusahaan mengantongi legalitas resmi, sementara kelompok tani mengacu pada surat dari kesultanan serta bukti tanam tumbuh sejak bertahun-tahun lalu.
“Kalau menurut saya pribadi, perusahaan tidak salah karena mereka punya legalitas. Tapi petani juga punya alasan, karena sudah menanam sejak lama dan punya surat dari kesultanan,” tuturnya.
Demi mencapai titik temu, DPRD Kukar memberi waktu satu minggu kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah melalui jalur musyawarah. Jika tak ada hasil, RDP lanjutan akan dijadwalkan.
“Kami beri waktu seminggu untuk mencari solusi secara kekeluargaan. Kalau tidak ada perkembangan, kami akan panggil lagi,” tegas Wandi.
Salah satu perwakilan petani, Sugiani, dari kelompok tani Pondok Manu, menyampaikan keluhannya di hadapan DPRD.
Ia menyebut sejak 2016, sekitar 54 kepala keluarga telah menggarap lahan di wilayah Handil Baru Muara dan Senipah.
“Kami tanam sawit, buah, pisang, sayur, dan singkong. Itu sumber hidup kami,” ungkap Sugiani.
Namun pada November 2023, alat berat perusahaan masuk ke lokasi dan merusak tanaman warga.
Sugiani mengaku telah mengadukan peristiwa itu ke Polsek Samboja dan pihak kecamatan, tetapi ditolak karena kelompoknya tidak memiliki legalitas lahan.
“Kami ke Polsek, tapi tidak ditindak karena kami dianggap tidak punya dasar hukum. Kami juga ke kecamatan, jawabannya sama. Akhirnya kami minta bantuan ormas untuk mendampingi,” tuturnya.
Pendampingan dari ormas sempat menghentikan aktivitas alat berat, namun tidak berlangsung lama.
Karena tidak menemukan solusi, para petani kemudian mengadukan peristiwa ini ke DPRD Kukar, yang lantas menindaklanjutinya dengan RDP.
“Sempat aktivitas alat berat dihentikan, tapi sekarang belum ada kejelasan. Masalah ini belum selesai,” ujarnya.
Sugiani mengaku mengalami kerugian besar. Sebagai ibu tiga anak, hasil kebun adalah satu-satunya sumber penghasilan bagi keluarganya.
“Dulu saya bisa jual pisang ke pasar, dapat Rp100 sampai Rp200 ribu sehari. Sekarang sawit dan singkong rusak, penghasilan saya hilang. Saya cuma minta tanaman kami diganti,” ucapnya dengan haru.
Ia berharap DPRD Kukar bisa menjadi jalan terang bagi masyarakat kecil yang berjuang mempertahankan hak mereka.
“Kalau bukan ke DPRD, kami mau mengadu ke siapa lagi? Tolong bantu hak kami sebagai rakyat kecil,” tutupnya. (*)












