TITIKNOL.ID, TARAKAN – Pengelolaan minyak kayu putih di Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara terus menunjukkan perkembangan yang menjanjikan.
Kepala UPTD KPH Tarakan, Ridwanto Suma, menjelaskan bahwa sejak dimulai pada tahun 2010 dengan dukungan dari BPDAS Mahakam Berau, luas areal minyak kayu putih kini mencapai 250 hektare.
Kawasan tersebut tersebar di hutan lindung, kelompok tani hutan, dan Gapoktan.
Pada tahun 2014, pihaknya mendirikan pabrik minyak kayu putih dengan kapasitas pengelolaan 250 hektare.
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya pada tahun 2025 ini pabrik tersebut resmi beroperasi penuh.
“Minyak kayu putih kami memiliki kandungan sineol hingga 85 persen, yang telah diuji di Universitas Mulawarman (Unmul) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kandungan ini tergolong tinggi dibandingkan daerah lain,” ungkap Ridwanto.
Namun, meskipun kualitas minyak kayu putih cap burung Kenawai dari Tarakan sangat baik, produktivitasnya masih fluktuatif.
Saat ini, produksi rata-rata mencapai 10 liter sampai 15 liter per bulan, tergantung pada jumlah tanaman, cuaca, dan pengelolaan panen.
Proses penyulingan minyak kayu putih di Tarakan menggunakan teknologi tungku modern dengan kapasitas bahan baku 350 kg per siklus.
Dalam enam hingga delapan jam penyulingan, tungku dapat menghasilkan 3-4 liter minyak kayu putih, dengan bahan bakar berupa 40 liter oli bekas.
Produk minyak kayu putih ini dikemas dalam tiga ukuran:
- Roll-on 8 ml seharga Rp 10 ribu
- Botol 30 ml seharga Rp 30 ribu
- Botol 60 ml seharga Rp 50 ribu
“Produksi harian kami mencapai 4 liter, dengan potensi pendapatan sekitar Rp 4 juta per hari. Kami optimis bisa meningkatkan kapasitas produksi seiring dengan bertambahnya jumlah tanaman,” ujar Ridwanto.
Perlu disampaikan bahwa kegiatan penanaman minyak kayu putih ini merupakan hasil kolaborasi dengan BPDAS Mahakam Berau sejak 2014.
Hingga tahun ini, BPDAS telah memberikan bantuan bibit sebanyak 600 ribu batang.
Selain itu, dukungan juga datang dari Dinas Kehutanan dan KPH sendiri, yang turut membantu pengadaan bibit dan pelatihan kepada masyarakat.
Salah satu kawasan andalan penghasil bahan baku minyak kayu putih adalah kawasan Gunung Selatan, yang dikelola oleh Gapoktanhut Lestari Gunung Selatan.
Kawasan ini memiliki izin pengelolaan seluas 105 hektare, dengan 34 anggota yang terbagi dalam dua kelompok tani.
Berdampak Ekonomi dan Lingkungan
Edi Aoi, salah satu anggota Gapoktanhut Lestari Gunung Selatan, menjelaskan bahwa kelompoknya mampu menghasilkan sekitar 1 ton kayu putih setiap kali panen, dengan harga jual Rp 2 ribu per kilogram.
“Minyak kayu putih menjadi salah satu sumber pendapatan utama kami. Selain manfaat ekonomi, tanaman ini juga memberikan dampak positif bagi lingkungan,” ujarnya.
Tanaman minyak kayu putih memiliki akar yang kuat untuk mencegah longsor, terutama karena wilayah Gunung Selatan cenderung gersang dan berpasir.
Selain itu, tanaman ini juga membantu mencegah serangan hama pada tanaman lain dan berkontribusi pada penghijauan kawasan.
“Kami menjaga hutan tetap lestari dan mematuhi aturan yang berlaku. Izin yang diberikan kepada kami dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menjaga keberlanjutan kawasan,” tambah Edi.
Ridwanto mengungkapkan bahwa pada 2018, pihaknya mendirikan pabrik penyulingan dengan kapasitas 1 ton bahan baku yang dibantu oleh BPDAS.
Namun, pabrik tersebut belum beroperasi maksimal karena kendala teknis.
Tahun ini, pihaknya berencana mendatangkan ahli dari Yogyakarta untuk melakukan perbaikan dan optimasi sistem produksi.
Selama pandemi Covid-19 pada tahun 2021, produksi minyak kayu putih di Tarakan sempat mencapai puncaknya, menghasilkan hingga 40 liter per bulan. Hal ini menunjukkan potensi besar produk ini dalam memenuhi kebutuhan lokal dan nasional.
Selain sebagai sumber pendapatan, minyak kayu putih di Tarakan diharapkan menjadi suvenir khas yang dapat memperkenalkan identitas daerah.
UPTD KPH Tarakan juga berencana menggandeng investor dari luar Kalimantan untuk mempromosikan produk ini lebih luas.
“Kami berharap minyak kayu putih cap burung Kenawai Tarakan bisa menjadi ikon unggulan daerah, sekaligus mendorong keberlanjutan ekonomi masyarakat melalui kolaborasi yang erat dengan kelompok tani dan berbagai pihak,” kata Ridwanto. (*)